Setia Menggemakan Sabda
75 Tahun Seminari Tinggi Ledalero
Tanggal
20 Mei 1937 Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero secara resmi/kanonis didirikan.
Pada hari itu, P. Wilhem Gier, pemimpin tertinggi Serikat Sabda Allah (SVD)
saat itu, mengeluarkan keputusan untuk mendirikan sebuah rumah pendidikan para
calon imam, biarawan misionaris SVD di Ledalero. Keputusan itu dibuat
berdasarkan izin yang diberikan oleh Vatikan melalui Kongregasi Untuk Kehidupan
Membiara pada tanggal 5 Mei 1937. Karena itu, pada tanggal 20 Mei tahun ini
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, seminari tinggi terbesar SVD sejagad dan
salah satu seminari tinggi terbesar dalam Gereja Katolik di dunia, merayakan
ulang tahunnya yang ke-75. Perayaan syukur untuk peristiwa penting ini baru
akan dilaksanakan pada bulan September nanti.
Keputusan
mendirikan seminari tinggi Ledalero dimotivasi terutama oleh ensiklik Maximum Illud dari Paus Benedictus XV
pada tahun 1919. Ensiklik ini diterbitkan setahun setelah berakhirnya Perang
Dunia I. Gereja Katolik yang saat itu semata-mata mengandalkan para
misionarisnya dari Barat, harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi
politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai
tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam
dan biarawan dari wilayah-wilayah misi.
Di
Indonesia, terobosan yang lebih berani ke arah pendidikan
para calon imam pribumi dilakukan para Yesuit di Jawa. Dua orang dari angkatan
pertama sekolah pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah, menamatkan pendidikan
gurunya pada tahun 1911 dan melamar untuk menjadi imam. Hanya seorang yang kemudian meneruskan
pendidikannya mulai tahun 1914 di Belanda dan ditahbiskan imam tahun 1926. Pada tanggal 16
Juli 1915 Petrus Darmaseputra dan Fransiscus Satiman diterima menjadi novis
Yesuit di Belanda. Pada tahun 1923 para Suster Fransiskanes dari Heythuisen
membuka novisiat mereka. Itu berarti empat abad setelah terjadinya penyebaran
agama Katolik secara sistematis dan berkesinambungan, barulah putera-puteri
Indonesia dianggap pantas menjadi imam dan biarawan/ti. Dibutuhkan waktu sekian
lama, bukan karena tidak ada orang Indonesia berniat menggabungkan diri, tetapi
karena orang masih menganut pandangan bahwa orang Indonesia asli tidak memiliki
bakat untuk menjalani kehidupan seperti ini.
Tanggapan atas Maximum
Illud di Nusa Tenggara diberikan oleh Mgr. Arnold Verstraelen yang
menugaskan P. Frans Cornelissen untuk memulai sebuah seminari menengah. Menurut
Mgr. Verstraelen, Vikariat Sunda Kecil yang pada waktu itu sudah memiliki 100.000
orang Katolik, sudah perlu mempunyai sebuah seminari. Ide besar dengan dampak
sejarah yang panjang ternyata tidak dimulai dengan membangun fasilitas serba
lengkap. Orang tidak mulai dengan bangunan dan fasilitas lain. Orang mulai
dengan manusia. Sejarah seminari di Nusa Tenggara bermula pada tanggal 2
Februari tahun 1926 dengan menggunakan pendopo pastoran Lela sebagai ruang
kelas. P. Cornelissen mendampingi 6 siswa pertama wilayah di Flores dan Timor. Tiga
setengah tahun kemudian, pada tanggal 15 September 1929, seminari ini dipindahkan
untuk menempati rumah yang dirancang dan dibangun khusus untuk tujuan itu,
yakni di Todabelu-Mataloko.
Frans Cornelissen adalah tokoh pendidikan, yang mempunyai
prestasi besar bagi perkembangan pendidikan pada umumnya di Flores, secara
khusus pendidikan para calon imam. Dia harus menghadapi banyak tantangan.
Misalnya, pandangan sejumlah misionaris tentang ketaklayakan orang-orang
pribumi untuk menjadi imam, dan dengan demikian menjadi pemimpin dalam Gereja Katolik;
persoalan pembiayaan untuk lembaga pendidikan; bahasa Melayu yang masih kurang
dipahami oleh P. Cornelissen sendiri sebagai syarat untuk dapat mendampingi
secara efektif para seminaris. Kendati terdapat sejumlah tantangan, pendidikam
seminari tetap dijalankan.
Pada tahun 1932, angkatan pertama seminari telah
menyelesaikan pendidikan menengahnya. Bagaimana selanjutnya? Gedung khusus
belum ada. Maka mereka pun dititipkan di rumah yang baru selesai dibangun untuk
para misionaris SVD di Mataloko, sebuah rumah bertingkat yang karena itu
disebut “Rumah Tinggi”. Namun, pertanyaan paling mendasar adalah: apakah para
lulusan itu menjadi calon imam praja/diosesan atau SVD? P. Cornelissen
mengajukan gagasan: sebaiknya orang-orang pertama dari Nusa Tenggara ini
diterima sebagai calon imam SVD. Alasannya, waktu itu semua imam yang bekerja
di wilayah ini adalah anggota SVD. Agar lebih tampak persamaan antara imam-imam
pribumi dan SVD, maka orang-orang pertama ini diterima sebagai calon imam SVD. Perbedaan
pribumi dan Barat tidak diperbesar lagi dengan perbedaan imam praja dan
religius. Maka, setelah setahun menanti, tujuh orang angkatan pertama novis SVD
diterima secara resmi dan memulai masa novisiatnya pada tanggal 16 Oktober
1933. Enam orang dari angkatan ini kemudian mengikrarkan kaul pertama pada
tanggal 17 Januari 1936. Saat itu mereka sudah cukup maju dalam studi, yang
telah dimulainya pada tahun 1932. P. Cornelissen, yang mendampingi para calon
ini sejak seminari menengah, mempunyai rasa bahagia dan bangga tersendiri.
Karena para frater hanya dititipkan di “Rumah Tinggi” di
Mataloko, maka sejak tahun 1935 mulai dicari tempat baru untuk sebagai seminari
tinggi. P. J. Bouma yang saat itu menjadi pemimpin tertinggi SVD di wilayah
ini, dibantu oleh P. H. Hermens dan P. A. Visser mempertimbangkan beberapa kemungkinan.
Lembah Hokeng menjadi salah satu alternatif yang cukup kuat. Namun, kecemasan
akan malaria menjadi alasan utama untuk mundur dari kemungkinan itu. Akhirnya,
dengan persetujuan Raja Don Thomas Ximenes da Silva, ditetapkanlah Ledalero
sebagai tempat bagi seminari tinggi SVD. Ledalero, tempat sandar matahari ini
memang tempat ideal untuk sebuah seminari
tinggi, karna letaknya tidak jauh dari beberapa paroki besar seperti Nita dan
Koting, lagi pula cukup dekat dengan kota pelabuhan Maumere. Maka, pada tahun
1936 pembangunan beberapa gedung penting pun dimulai.
Setelah mengeluarkan keputusan pendirian Seminari Tinggi
Ledalero pada tanggal 20 Mei, pada tanggal 3 Juni, pemimpin tertinggi SVD
memindahkan novisiat dari Todabelu-Mataloko ke Ledalero. Dengan ini, seminari
tinggi Ledalero sudah dapat dihuni secara resmi. Rombongan pertama yang tiba di
Ledalero adalah dua novis, yakni Lukas Lusi dan Niko Meak, didampingi pemimpin
novisiat P. Jac. Koemeester. Lukas Lusi kemudian menarik diri dari SVD dan menjadi
imam praja Keuskupan Agung Ende. Tidak lama berselang, rombongan para frater
yang telah studi pun tiba. Di antaranya Gabriel Manek dan Karolus Kale Bale,
yang kemudian ditahbiskan sebagai dua imam pribumi pertama SVD Indonesia pada
tanggal 28 Januari 1941. Saat rombongan
para novis dan frater tiba untuk pertama kalinya di Ledalero, mereka disambut
umat Nita dengan ucapan dalam bahasa Sikka: “He miu ata novisen mole ata frater, mai baa deri ei Ledalero” yang
artinya: hai para novis dan frater, datanglah dan tinggallah di Ledalero. Pada
saat awal itu, jumlah calon imam sebanyak 16 orang: 5 orang frater mahasiswa
teologi, 5 orang frater mahasiswa filsaft, dan 6 orang novis.
Ungkapan orang Nita di atas menunjukkan bahwa pendidikan
calon imam dan biarawan didukung sepenuhnya oleh umat. Umat menerima mereka
dengan tangan terbuka untuk mengambil bagian dalam hidup mereka, mengalami
jatuh bangun perjuangan hidup dan kegembiraan serta kebahagiaan. Para biarawan calon
imam tidak melayang di atas angin, tetapi mesti berakar dalam kehidupan umat.
Seminari, tempat persemaian panggilan untuk menjadi imam dan biarawan bukan
pertama-tama rumah yang dibangun megah dengan aturan yang ketat, tetapi
kehidupan umat di gubuk-gubuk sederhana yang mengenal matahari sebagai satu-satunya
jaminan ketetapan ritme hidup. Jika rumah yang megah menumpulkan kepekaan para
biarawan dan calon imam untuk menangkap kegelisahan umat, dan ketatnya aturan
mengeraskan hati mereka untuk menanggapi persoalan masyarakat, maka seminari
sebenarnya gagal menjalankan perannya.
Berkat
kerahaman dan keterbukaan umat untuk selalu membumikan panggilan para biarawan
dan calon imam, maka Ledalero, kendati harus menghadapi banyak tantangan dan
masalah, tetap menjadi rahim yang menghasilkan imam, misionaris biarawan SVD
yang diutus ke berbagai bangsa dan barisan panjang para awam yang berkiprah pada
beragam bidang kehidupan. Pada tahun 1939 Ledalero mencatat 19 calon imam SVD.
Menurut catatan Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik di
Indonesia, Jilid II, 1903-1942, dari 176 siswa di seminari menengah yang
memulai pendidikannya antara tahun 1926-1936, hanya 29 orang atau 16% menjadi
yang ditahbiskan imam. Untuk Seminari Tinggi Ledalero, dari 2009 calon imam SVD
yang memulai pendidikannya antara tahun 1933 sampai 1998 (tahun permulaan masa
novisiat untuk angkatan tahbisan tahun 2007), 772 di antaranya ditahbiskan
sebagai imam SVD. Itu berarti sekitar 38%. Kini, pada saat merayakan pesta 75
tahun, seminari ini telah menghitung 866 imam SVD sebagai alumninya, di
antaranya 10 orang uskup. Sebagian yang lainnya ditahbiskan sebagai imam dalam
beberapa tarekat religius lain atau imam praja dari sejumlah keuskupan. Lebih
dari separuh alumni adalah awam.
Sebagai
sebuah tarekat misi, para anggota SVD harus memiliki kesediaan untuk berkarya
di negara-negara lain sesuai kebutuhan tarekat. Kalau pada tahun 1926 sejumlah
misionaris masih meragukan entahkah orang-orang Nusa Tenggara bisa menjadi
biarawan dan imam, dewasa ini anak-anak kelahiran tanah dan budaya Nusa Tenggara
telah menjadi misionaris di berbagai belahan bumi. Para tamatan Ledalero mulai
mendapat kepercayaan untuk berkarya di negara lain pada tahun 1983, saat dua
orang imam mendapat penugasan untuk bermisi di Papua New Guinea. Sejak itu,
seminari tinggi ini sudah mengutus lebih dari 400 orang biarawan imam
misionaris untuk berkarya di 45 negara di 5 benua. Walaupun harus mengatasi
tantangan bahasa dan perbedaan budaya, para misionaris SVD tamatan Ledalero
umumnya mudah menemukan cara untuk mendekati umat. Mereka berkarya dalam
pelayanan pastoral di paroki, menjadi guru dan pendidik atau pemimpin. Beberapa
di antaranya dikenal sebagai pejuang kemanusiaan dan pembela hak-hak warga dan
umat yang miskin dan tersisih.
Para misionaris Gereja,
termasuk tamatan Ledalero, entah
yang berkarya di dalam maupun di luar negeri, berusaha mewujudkan misi sebagai
proses pembelajaran yang saling menjernihkan dan memperkaya untuk membangun persaudaraan
universal. Misi dalam arti proses seperti ini sebenarnya telah dimulai dan
dialami di Ledalero. Sebagaimana di banyak lembaga pendidikan calon imam dan
religius lainnya, proses pendidikan menjadi misionaris di seminari seperti
Ledalero adalah proses saling menjernihkan dan memperkaya. Proses ini tak
selalu mudah. Pertobatan untuk menjadi rendah hati, meluluhkan benteng
keangkuhan diri tak selalu gampang. Ketulusan dan kejujuran harus selalu
diperjuangkan, dan tak sedikit yang mesti membayar mahal untuknya. Selain itu,
kepekaan sosial dan keberanian untuk menanggapi masalah-masalah sosial pun
mendapat perhatian yang semakin penting. Orang perlu mengatasi godaan untuk
tinggal dalam kenyamanan diri dan kelompok sendiri.
Selama
75 tahun ini, selain umat Nita dan sekitarnya yang menerima kehadiran para
biarawan calon imam dengan sapaan adat di atas, Ledalero pun telah mendapat
dukungan dari banyak pihak lain. Banyak orang telah membantu sehingga para
calon misionaris dapat tinggal dan menjalankan masa pendidikannya di Ledalero.
Kini, dengan usia yang bertambah dan beban yang kian berat, Ledalero semakin memerlukan
dukungan dari umat di Indonesia, dukungan dalam berbagai bentuk, termasuk
dukungan finansial, agar lembaga ini tetap setia menjalankan perannya, mendidik
para calon misionaris untuk mewartakan Sabda.
Paul
Budi Kleden, SVD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar