Kesaksian Yang Nyaring
(Mengenang P. Alex Ganggun, SVD)
Pada
bulan Oktober para Uskup Gereja Katolik menjalankan pertemuan (sinode) di Roma
selama tiga minggu. Mereka berdiskusi tentang evangelisasi baru, bagaimana
berbicara kepada orang-orang yang pernah percaya namun mulai mengambil jarak
dari Gereja tentang Tuhan yang punya kepedulian bagi manusia. Pada akhir
pertemuan tersebut mereka mengeluarkan sebuah dokumen yang disebut Pesan Bagi
Umat Allah. Salah satu bagian yang paling laris dikutip dari pernyataan itu
berbunyi demikian: “Tanda yang lain dari otentisitas evangelisasi baru
mengambil wajah kaum miskin. Kita menempatkan diri di samping mereka yang
terluka dalam hidup bukan sekadar sebagai tindakan sosial, melainkan terutama
sebuah tindakan spiritual sebab wajah Kristus sendirilah yang terpancar dari
wajah kaum miskin… Kehadiran para miskin
dalam kelompok-kelompok kita memiliki kekuatan yang misterius: kehadiran itu
lebih sanggup mengubah dibandingkan dengan diskusi manapun, kehadiran itu
mengarakan kita kesetiaan, membuat kita memahami kerapuhan kita…, singkatnya,
kehadiran itu membawa kita kepada Kristus.”
Berada pada pihak mereka yang miskin karena dimiskinkan oleh
sistem, baik sistem politik, budaya maupun agama, bukan sekadar merupakan
sebuah sikap sosial. Berada pada pihak mereka yang ditinggalkan dalam
kemelaratan dan yang kekurangtahuannya dimanfaatkan untuk memperkaya segelintir
orang, adalah panggilan untuk semua orang Kristen. Bagi seorang Kristen,
langkah ini adalah sebuah ekspresi iman, keberpihakan sebagai sebuah sikap
spiritual.
Dalam Gereja Katolik, selambat-lambatnya sejak Vatikan II perjuangan
untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan menjadi
satu matra utama dalam pewartaan Gereja. Gereja memandang jurang sosial dan
ekonomi lebar yang terbentang antara orang, kelompok orang dan negara-negara
miskin dan kaya sebagai “skandal besar yang melukai keadilan sosial,
kesederajatan, keluhuran martabat manusia serta mengancam perdamaian
internasional” (Gaudium et Spes 29). Karena itu Gereja mendorong semua pihak
untuk berjuang mengatasi segala bentuk pembodoan dan penghambaan manusia. Itu
berarti, melawan dengan lantang segala bentuk ketidakadilan yang menjadikan
yang lain sebagai korban. Gereja tidak bisa tidak berbicara, kendati ketika
berbicara, dia harus bersedia dianggap sebagai pahlawan kesiangan atau dinilai
bodoh dan tidak bijaksana. Turut berbicara dan berjuang menentang pemiskinan
dan pembodohan adalah sebuah keharusan, kendati dengan itu dirinya menjadi mudah
terluka. Diam di hadapan kekuasaan yang korup dan mempermiskin, dengan alasan
apapun, bukanlah sikap yang benar.
Sinode Para Uskup pada tahun 1971
merumuskan sebuah pernyataan tegas: “Bertindak atas nama keadilan dan
partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu
dimensi pokok untuk mewartakan Injil, atau dengan kata lain, dimensi yang pokok
tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan
yang menekan” (Iustitia in Mundo, 1). Keterlibatan dalam bidang ini merupakan
satu dimensi pokok dari keberadaan sebagai orang Kristen. Dimensi pokok berarti
dimensi yang tidak bisa ditawar-tawar. Meneruskan kisah tentang kemurahan Tuhan
yang menyelamatkan tidak akan lengkap jika orang mengabaikan komitmen dalam memperjuangkan
keadilan. Dan ini tidak hanya berlaku bagi para imam dan biarawan. Semua orang
yang dibaptis mengenakan nama kristen sebagai sebuah pewartaan.
Gereja baru menjadi saksi Kristus dengan
mewartakan Injil, dan pewartaan Injil tanpa perjuangan demi keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan merupakan penyangkalan terhadap Injil. Dengan
ini kerasulan dalam bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) menjadi jati diri seluruh Gereja. Komitmen terhadap JPIC
menunjukkan kemuridan setiap orang dan setiap persekutuan kristiani.
Namun, dalam kenyataan, perwujudan komitmen JPIC tidak selalu
mendapat tanggapan yang sama. Hal ini dapat dipahami karena perjuangan JPIC
selalu bersentuhan dengan kepentingan, khususnya dengan kepentingan kekuasaan yang
mapan. Tidak terkecuali sejumlah imam dan biarawan/ti memandang karya ini
sebagai usaha sampingan yang tidak penting malah tidak bisa menjadi bagian dari
Injil. Alasan mereka beragam, antara lain, karena usaha seperti ini pasti akan
membuat sejumlah pejabat tersinggung dan dapat berpotensi memecahbelah umat. Hal
ini dipandang sebagai tindakan yang tidak dikehendaki Allah.
Namun, bagi orang Kristen, perspektif Allah tampak dalam
intervensi-Nya ke dalam sejarah, yang menjadi paling jelas dalam peristiwa Yesus
dari Nazaret. Allah memang menghendaki kesatuan dan kesederajatan di antara
umat manusia. Tetapi, saat terjadi pemerasan ekonomi oleh sekelompok manusia
terhadap mayoritas umat dan warga, ketika ada penjajahan politik yang dilakukan
segelintir orang terhadap sesama warganya, dan karena ada penindasan atas nama
agama yang mengucilkan sebagian umat dalam rasa tidak percaya diri, di sana
Allah tampil sebagai Tuhan yang berpihak. Allah mengambil preverensi demi
mereka yang tersingkirkan dan dilemahkan, bukan karena Dia tidak adil,
melainkan karena sejarah menghasilkan ketidakadilan, kedamaian yang dipaksakan
dan kehancuran lingkungan hidup, di tengah dunia yang dicanangkan-Nya sebagai
tempat keadilan, perdamaian sejati dan keutuhan ciptaan. Dalam diri Yesus Tuhan
mengindentikkan diri-Nya dengan mereka yang tidak diuntungkan kehidupannya oleh
perilaku sesamanya.
Karena hidup dan memberikan kesaksian tentang Injil sebagai
warta gembira bagi kaum tertindas di tengah sebuah dunia yang telah ditandai
oleh kepincangan, maka tidak mungkin Gereja bersikap netral. Gereja sebagai suatu lembaga sosial yang
berpengaruh terhadap masyarakat mau tak mau mempengaruhi situasi sosial
masyarakat. Kalau Gereja tidak mengambil sikap secara sadar dan dengan sengaja,
kalau Gereja berdiam dan ingin tinggal netral, maka dalam kenyataan dia
mendukung status quo yang menguntungkan kaum berkuasa. Tidak bisa tidak
Gereja akan mendukung sesuatu.
Salah satu dari sejumlah orang yang dalam kesederhanaan namun konsisten
menghidupi panggilan tersebut adalah P. Alex Ganggu, SVD, yang meninggal dunia
23 November lalu. Dia berjuang mendampingi para petani sederhana di
kampung-kampung di sejumlah wilayah di Flores untuk memperbaiki kehidupan
mereka. Dia mendorong mereka untuk membentuk wadah petani agar dapat berunding
lebih mengenai harga beli benih dan harga jual hasil mereka. Dia menghidupi apa
yang menjadi keyakinan Gereja dan pilihan serikatnya, yang tertulis indah dalam
dokumen-dokumen. Hidupnya adalah sebuah dokumen yang sederhana dan karena itu
mudah dimengerti, bahwa perjuang bersama dan untuk masyarakat sederhana,
kendati sulit karena beragam tantangan, tetapi juga membawa kegembiraan dan
kebahagiaan.
Paul Budi
Kleden
Pos Kupang,
1 Des 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar