Jumat, 12 April 2013


 Kesaksian Yang Nyaring
(Mengenang P. Alex Ganggun, SVD)
Pada bulan Oktober para Uskup Gereja Katolik menjalankan pertemuan (sinode) di Roma selama tiga minggu. Mereka berdiskusi tentang evangelisasi baru, bagaimana berbicara kepada orang-orang yang pernah percaya namun mulai mengambil jarak dari Gereja tentang Tuhan yang punya kepedulian bagi manusia. Pada akhir pertemuan tersebut mereka mengeluarkan sebuah dokumen yang disebut Pesan Bagi Umat Allah. Salah satu bagian yang paling laris dikutip dari pernyataan itu berbunyi demikian: “Tanda yang lain dari otentisitas evangelisasi baru mengambil wajah kaum miskin. Kita menempatkan diri di samping mereka yang terluka dalam hidup bukan sekadar sebagai tindakan sosial, melainkan terutama sebuah tindakan spiritual sebab wajah Kristus sendirilah yang terpancar dari wajah kaum miskin…  Kehadiran para miskin dalam kelompok-kelompok kita memiliki kekuatan yang misterius: kehadiran itu lebih sanggup mengubah dibandingkan dengan diskusi manapun, kehadiran itu mengarakan kita kesetiaan, membuat kita memahami kerapuhan kita…, singkatnya, kehadiran itu membawa kita kepada Kristus.”

Berada pada pihak mereka yang miskin karena dimiskinkan oleh sistem, baik sistem politik, budaya maupun agama, bukan sekadar merupakan sebuah sikap sosial. Berada pada pihak mereka yang ditinggalkan dalam kemelaratan dan yang kekurangtahuannya dimanfaatkan untuk memperkaya segelintir orang, adalah panggilan untuk semua orang Kristen. Bagi seorang Kristen, langkah ini adalah sebuah ekspresi iman, keberpihakan sebagai sebuah sikap spiritual.

Dalam Gereja Katolik, selambat-lambatnya sejak Vatikan II perjuangan untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan menjadi satu matra utama dalam pewartaan Gereja. Gereja memandang jurang sosial dan ekonomi lebar yang terbentang antara orang, kelompok orang dan negara-negara miskin dan kaya sebagai “skandal besar yang melukai keadilan sosial, kesederajatan, keluhuran martabat manusia serta mengancam perdamaian internasional” (Gaudium et Spes 29). Karena itu Gereja mendorong semua pihak untuk berjuang mengatasi segala bentuk pembodoan dan penghambaan manusia. Itu berarti, melawan dengan lantang segala bentuk ketidakadilan yang menjadikan yang lain sebagai korban. Gereja tidak bisa tidak berbicara, kendati ketika berbicara, dia harus bersedia dianggap sebagai pahlawan kesiangan atau dinilai bodoh dan tidak bijaksana. Turut berbicara dan berjuang menentang pemiskinan dan pembodohan adalah sebuah keharusan, kendati dengan itu dirinya menjadi mudah terluka. Diam di hadapan kekuasaan yang korup dan mempermiskin, dengan alasan apapun, bukanlah sikap yang benar.

Sinode Para Uskup pada tahun 1971 merumuskan sebuah pernyataan tegas: “Bertindak atas nama keadilan dan partisipasi dalam pengubahan dunia tampak sepenuhnya bagi kami sebagai suatu dimensi pokok untuk mewartakan Injil, atau dengan kata lain, dimensi yang pokok tugas Gereja bagi penebusan bangsa manusia dan pembebasan dari setiap keadaan yang menekan” (Iustitia in Mundo, 1). Keterlibatan dalam bidang ini merupakan satu dimensi pokok dari keberadaan sebagai orang Kristen. Dimensi pokok berarti dimensi yang tidak bisa ditawar-tawar. Meneruskan kisah tentang kemurahan Tuhan yang menyelamatkan tidak akan lengkap jika orang mengabaikan komitmen dalam memperjuangkan keadilan. Dan ini tidak hanya berlaku bagi para imam dan biarawan. Semua orang yang dibaptis mengenakan nama kristen sebagai sebuah pewartaan.

Gereja baru menjadi saksi Kristus dengan mewartakan Injil, dan pewartaan Injil tanpa perjuangan demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan merupakan penyangkalan terhadap Injil. Dengan ini kerasulan dalam bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) menjadi jati diri seluruh Gereja. Komitmen terhadap JPIC menunjukkan kemuridan setiap orang dan setiap persekutuan kristiani.

Namun, dalam kenyataan, perwujudan komitmen JPIC tidak selalu mendapat tanggapan yang sama. Hal ini dapat dipahami karena perjuangan JPIC selalu bersentuhan dengan kepentingan, khususnya dengan kepentingan kekuasaan yang mapan. Tidak terkecuali sejumlah imam dan biarawan/ti memandang karya ini sebagai usaha sampingan yang tidak penting malah tidak bisa menjadi bagian dari Injil. Alasan mereka beragam, antara lain, karena usaha seperti ini pasti akan membuat sejumlah pejabat tersinggung dan dapat berpotensi memecahbelah umat. Hal ini dipandang sebagai tindakan yang tidak dikehendaki Allah.

Namun, bagi orang Kristen, perspektif Allah tampak dalam intervensi-Nya ke dalam sejarah, yang menjadi paling jelas dalam peristiwa Yesus dari Nazaret. Allah memang menghendaki kesatuan dan kesederajatan di antara umat manusia. Tetapi, saat terjadi pemerasan ekonomi oleh sekelompok manusia terhadap mayoritas umat dan warga, ketika ada penjajahan politik yang dilakukan segelintir orang terhadap sesama warganya, dan karena ada penindasan atas nama agama yang mengucilkan sebagian umat dalam rasa tidak percaya diri, di sana Allah tampil sebagai Tuhan yang berpihak. Allah mengambil preverensi demi mereka yang tersingkirkan dan dilemahkan, bukan karena Dia tidak adil, melainkan karena sejarah menghasilkan ketidakadilan, kedamaian yang dipaksakan dan kehancuran lingkungan hidup, di tengah dunia yang dicanangkan-Nya sebagai tempat keadilan, perdamaian sejati dan keutuhan ciptaan. Dalam diri Yesus Tuhan mengindentikkan diri-Nya dengan mereka yang tidak diuntungkan kehidupannya oleh perilaku sesamanya.

Karena hidup dan memberikan kesaksian tentang Injil sebagai warta gembira bagi kaum tertindas di tengah sebuah dunia yang telah ditandai oleh kepincangan, maka tidak mungkin Gereja bersikap netral. Gereja sebagai suatu lembaga sosial yang berpengaruh terhadap masyarakat mau tak mau mempengaruhi situasi sosial masyarakat. Kalau Gereja tidak mengambil sikap secara sadar dan dengan sengaja, kalau Gereja berdiam dan ingin tinggal netral, maka dalam kenyataan dia mendukung status quo yang menguntungkan kaum berkuasa. Tidak bisa tidak Gereja akan mendukung sesuatu.

Salah satu dari sejumlah orang yang dalam kesederhanaan namun konsisten menghidupi panggilan tersebut adalah P. Alex Ganggu, SVD, yang meninggal dunia 23 November lalu. Dia berjuang mendampingi para petani sederhana di kampung-kampung di sejumlah wilayah di Flores untuk memperbaiki kehidupan mereka. Dia mendorong mereka untuk membentuk wadah petani agar dapat berunding lebih mengenai harga beli benih dan harga jual hasil mereka. Dia menghidupi apa yang menjadi keyakinan Gereja dan pilihan serikatnya, yang tertulis indah dalam dokumen-dokumen. Hidupnya adalah sebuah dokumen yang sederhana dan karena itu mudah dimengerti, bahwa perjuang bersama dan untuk masyarakat sederhana, kendati sulit karena beragam tantangan, tetapi juga membawa kegembiraan dan kebahagiaan.


Paul Budi Kleden
Pos Kupang, 1 Des 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar